Showing posts with label Travel Stories. Show all posts
Showing posts with label Travel Stories. Show all posts

Sunday, February 4, 2018

Asia Overland, Perjalanan Kembali Dari Tachileik Myanmar ke Kota Chiang Rai Thailand




Tuhan melukiskan warna lembayung pada langit diatas perbatasan Mae Sai Thailand dan Tachileik Myanmar untuk memaparkan lebih banyak keindahan di dunia dan untuk menyadarkan manusia bahwa Tuhan memberi banyak pemuas mata di penghujung hari sebelum berganti malam. Ketika langit mulai gelap, kami segera bergegas untuk menyebrang perbatasan Myanmar melalui kota Tachileik menuju Mae Sai Thailand.
Melalui jalan yang sama kami segera berbaris di pintu imigrasi negara Myanmar dan mendapatkan stempel dari kantor imigrasi di Tachileik. Kami lanjut berjalan melewati jembatan perbatasan yang menghubungkan dua negara ini untuk menuju kantor imigrasi di bagian Thailand yang terletak di Mae Sai. Kami kembali berbaris mengular di antrean orang-orang yang sudah terlebih dahulu hendak masuk ke Thailand, sampai akhirnya giliran kami tiba untuk diberikan stempel dari negara Thailand sebagai tanda bahwa kami diperbolehkan untuk masuk kembali.

Asia Overland, Tachileik, Kota Kecil di Perbatasan Myanmar dan Thailand Utara



Salah satu penjual makanan di Tachileik, Myanmar

City of the Golden Triangle. Kota Tachileik di Myanmar ini bersandingan dengan kota Mae Sai Thailand. Posisinya yang berada diperbatasan membuat kota ini ikut berkembang khususnya di sektor perdagangan. Disebut golden triangle karena lokasinya yang berdekatan dengan perbatasan tiga negara antara Thailand, Myanmar dan Laos yang dikenal sebagai kawasan segi tiga emas.
Lokasi pasar di Tachileik yang berdekatan dengan perbatasan Myanmar - Thailand ini membuat suasana kehidupan di pasar ini kerap ramai. Bermacam-macam orang berlalu-lalang disana dari seorang pembeli, penjual, pengemis bahkan pencopet berkumpul menjadi satu di pasar. Pasar ini menjual beraneka ragam barang mulai dari pakaian, kerajinan dari logam, tas-tas kualitas nomor dua, telpon genggam dan barang elektronik tiruan serta di bagian lain terdapat pasar tradisional yang menjual sayur mayur dan buah-buahan. Salah satu keunikan berbelanja di pasar ini kita bisa menggunakan mata uang Thailand Bath atau Myanmar Kyat saat bertransaksi di tempat ini.

Friday, January 26, 2018

Asia Overland, #CrossBorder Melewati Perbatasan Jalur Darat Thailand dan Myanmar di Mae Sai dan Tachileik



Menyebrang Perbatasan Thailand ke Myanmar dari Mae Sai - Tachileik
 Setelah menempuh puluhan kilometer dengan sepeda motor sewaan dari kota Chiang Rai melalui jalanan yang semula kiri kanannya ladang perkebunan kini berubah menjadi sederetan bangunan pertokoan yang menghiasai perbatasan ini. Di pelatarannya penuh dijejali sederetan pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam makanan dan barang lainnya.
Tak hanya perut, matapun terasa lapar untuk membeli barang yang dijual di perbatasan ini. Aku mengusap mata lantas mencium aroma makanan pinggir jalan semerbak dari beberapa gerobak kaki lima. Aku dan Novel tertuju pada satu titik yang sama, sesosok ibu yang menjual makanan seperti martabak manis dengan taburan gula putih di atasnya yang tampak menggugah selera. Sedangkan Yayan tertarik untuk membeli ayam goreng yang aromanya tak kalah menggiurkan.

Thursday, January 25, 2018

Asia Overland, Menuju Perbatasan Jalur Darat Thailand dan Myanmar dengan Sepeda Motor



Perjalanan jalur darat dari pusat kota Chiang Rai menuju Mae Sai
Setelah edisi menjelajah Chiang Rai di White Temple dan perkampungan Kayan Lahwi berleher panjang, petualangan kamipun berlanjut. Hanya berbekal peta buta yang tampak lurus dan terlihat dekat membuat kami nekat menyusuri jalan dari kota Chiang Rai menuju perbatasan Myanmar di Maesai - Tachileik menggunakan sepeda motor. Tanpa mengetahui estimasi berapa kilometer yang akan kami tempuh membuat perjalanan ini tidak memiliki beban. Kami pacu kendaraan roda dua kami dengan santai mengikuti arah ke kota Mae Sai tempat perbatasan itu berada.
Hasilnya? Sudah lebih dari 2 jam mengendarai motor melewati jalan raya yang lurus ini seperti tak berujung. Dan setelah tiba di kota ini akhirnya kami menyadari jarak dari kota Chiang Rai ke Perbatasan ini sekali jalannya mencapai 80 kilometer. Jauh juga ya ternyata jika dihitung pulang pergi dalam hari yang sama.

Asia Overland, Bertamu ke Suku Karen/Lahwi, Perkampungan orang-orang berleher panjang

Salah satu suku karen di perkampungan suku berleher panjang di Thailand

Motor matik kami melaju konstan menyusuri jalan di area persawahan. Mataku asyik memandangi sawah yang menghijau dengan latar perbukitan. Jejeran ilalang memenuhi sepanjang tepi jalan. Selama perjalanan aku tak berbicara sama sekali. Pandanganku menangkap pantulan wajah Yayan dan Novel di kaca spion yang juga tampak menikmati perjalanan ini hingga akhirnya kami menghentikan laju motor dan memarkirkannya di sebuah perkampungan kecil yang berada di kaki bukit.

Setibanya disana, suasananya begitu sepi tak banyak turis yang sedang berkunjung di perkampungan ini. Kami menduga mungkin ini bukan tempat perkampungan yang biasanya dikunjungi tur wisata, karena lokasi perkampungan ada di sisi yang berbeda dan biaya retribusi masuknya pun hanya 100 Bath atau kurang dari setengah dari harga informasi yang kami peroleh.

Asia Overland, Berjumpa White Temple dan Tersesat di Black House Chiang Rai


White Temple di Chiang Rai, Thailand
Dengan tiket promo Air Asia yang kami peroleh dari kota Bangkok kami menuju Chiang Rai sebuah kota kecil di Thailand paling utara dengan penerbangan seharga 320.57 Thailand Bath. Tujuan utama kami yaitu mengujungi kawasan Golden Triangle yang merupakan jalur sutera perdagangan tiga negara yaitu Thailand, Myanmar dan Laos yang dihubungkan oleh sebuah sungai yang bernama Sungai Mekong.
Kami naik pesawat terakhir dengan pertimbangan agar memiliki waktu lebih untuk menjelajah kota Bangkok terlebih dahulu, dan secara kebetulan kami bisa menjelajah bersama teman-teman seperjalanan dari Jakarta yaitu Yayan, Nesia, Tika, Novel, Ade, Umi dan Nisa. Namun untuk perjalanan ke Thailand bagian utara ini kini tersisa Yayan saja, ditambah personil baru yaitu Novel yang baru bertemu kemarin. Jika hidup diibaratkan sebagai perjalananan, seperti inilah kehidupan yang terus berjalan. Ada yang datang ada juga yang pergi di dalam kehidupan.

Sunday, December 24, 2017

Asia Overland, Kesempatan kedua di Grand Palace Bangkok, Thailand

Wat Phra Kaew dan Grand Palace di Bangkok, Thailand

Masih kukuh terpatri dalam ingatanku pertama kali nekat backpacking jalur darat dari Singapura hingga Thailand, sesampainya di Bangkok Thailand budget sudah sangat minim. Hasilnya? ketika sampai di depan Grand Palace hanya bisa memandang bangunan megah ini dari luar pintu gerbang saja karena harga tiket masuk untuk ke komplek istana raja Thailand ini cukup mahal yaitu 500 Bath. Dengan jumlah uang sebesar itu setara dengan budget makan dan transport kami untuk keliling kota Bangkok untuk 2 hari. Tapi rekan perjalanan ku saat itu Bang Coy meyakinkan aku untuk melewatkan tempat ini dan harus berani bermimpi suatu saat akan kembali ke Thailand sekaligus melanjutkan perjalanan menjelajah negara Asia yang lain.
Dan benar saja 2 tahun kemudian ketika aku melanjutkan pengembaraan menjelajah Asia Tenggara hingga Dataran China akhirnya terwujud juga untuk bisa masuk dan melihat lebih dekat kemegahan Grand Palace ini.

Asia Overland, Masjid Chakrabongse, Sungai Chao Phraya dan Candi-Candi di Bangkok



Wat Arum, Salah Satu Candi Paling Populer di Bangkok, Thailand

Telepon genggamku bergetar dan memberikan sebuah notifikasi, bukan kerana alarm yang ku setting melainkan karena sebuah pesan singkat yang masuk dari teman saya yang baru tiba di Bangkok subuh itu. Beberapa hari sebelumnya aku memang sudah merencanakan dengan beberapa teman lama yaitu Ade, Umi dan Nisa yang kebetulan jadwalnya sama sedang berada di Bangkok. Kami merencanakan untuk berjalan 1 hari bersama di kota ini.
Setelah mencuci muka dan sholat subuh, aku langsung bergegas menuju Khaosan Road tempat dimana kesepakatan kami untuk bertemu. Kala itu waktu sudah menunjukan pukul 5:45, udara di luar masih teras dingin, dan sang suryapun belum tampak menyinari kota Bangkok yang masih gelap. Hingar binger suasana kafe malam telah berganti sunyi, yang kulihat hanya sisa-sisa pemabuk yang masih berada di sepanjang trotoar didepan kafe yang telah tutup. Dan mungkin sebagian dari mereka adalah tunawisma atau memang turis yang tidak bisa pulang karena kondisi mereka yang sudah terlalu mabuk.

Asia Overland, Dari Siem Riep Tiba di Ibu Kota Thailand



Tiba di Kota Bangkok Pada Malam Hari

Setelah melalui perjalanan darat sekitar 12 jam dari kota Siem Riep, akhirnya kami tiba di kota ini Bangkok. Mini van mengantarkan kami sampai ke Jalan Khao San, tempat dimana kawasan backpacker berada. Di tengah keramaian kota Bangkok yang semakin terasa sesak kami berjalan menyusuri sebuah jalan kecil. Suara kendaraan tuk-tuk khas Thailand menderu-deru dengan knalpot yang sudah dimodifikasi ikut meramaikan suasana pada malam ini. Dengan ransel dipunggung kami berempat berjalan menyusuri jalan menyibak kerumunan orang yang berlalu-lalang.
Malam itu Khao San begitu ramai, dan terasa begitu penuh bak lautan manusia karena bulan februari merupakan high season yang membuat kami harus mencari penginapan yang masih ada kamar tersisa, tentunya yang sesuai dengan budget yang kami miliki. Karena hampir semua penginapan penuh dan kami belum melakukan pemesanan sebelumnya, dengan terpaksa kami terus berjalan dari satu jalan ke jalan lain, dari satu lorong, ke lorong lain.

Tuesday, December 19, 2017

Asia Overland, #CrossBorder Menyebrang perbatasan Kamboja ke Thailand



Berjalan melewati pintu perbatasan Kamboja ke Thailand lewat pintu Poipet - Aranyaprathet

 Sulit memiliki teman seperjalanan dengan waktu dan tujuan yang sama tidak menjadi penghambat niat untuk berpetualang, karena Tuhan akan selalu punya cara untuk mempertemukan orang-orang yang memiliki langkah dan irama yang sama, bagaimanapun caranya. Seperti halnya kami yang harus berpisah dengan salah satu rekan seperjalanan di Siem Riep namun di perjalanan selanjutnya saat hendak menyebrang melewati perbatasan Cambodia - Thailand ini saya di pertemukan dua backpacker muda yang sama-sama berasal dari Indonesia. Mereka adalah Nesia dan Tika yang berpetualang di Indochina disela' waktu liburnya saat menjadi pengajar muda. Berjalanlah, Semesta senantiasa akan mempertemukan kita dengan orang-orang baru.
Untuk yang berminat cross border melewati perbatasan dari Cambodia ke Thailand atau sebaliknya, ada 6 perbatasan yang dapat dilalui diantaranya Chong Sa Ngam - Anglong Veng, Chong Jom - O'Smach, Ba Laem - Duan Lem, Ban Pakard - Pailin, Koh Kong - Had Lek dan yang paling populer dikalangan backpacker yaitu lewat Poipet - Aranyaprathet. Dan ini adalah gerbang perbatasan Cambodia di Poipet - Aranyaprathet.

Asia Overland, Dibalik Eksotisme Candi Ta Prohm (Tomb Raider) di Kamboja



Candi Ta Prohm, salah satu candi yang bisa dijelajahi di komplek Angkor, Cambodia

Seorang gadis kecil tampak tertawa renyah dan berlari di antara reruntuhan batu candi, dikala itu ada seorang arkeolog wanita berambut panjang yang dikepang satu sedang menyusuri jalan yang sama. Seketika arkeolog itu mulai tersadar ada orang selain dirinya di tempat ini, ia berusaha mengejar dan menghampiri asal suara itu untuk menjawab rasa penasarannya. Arkelog itu menatap luas ke sekeliling reruntuhan candi tua untuk mencari gadis itu dan berjalan mengikutinya.
Dinding batunya yang semula hitam kini sebagian menjadi hijau karena diselumuti lumut. Pohon-pohon besar tumbuh rindang dengan untaian akar-akar besar seperti ular anaconda yang menjulur mencengkeram sebagian dasar dan dinding memberi terkesan misterius. Pohon-pohon  besar seperti pohon Bayan, pohon Randu dan pohon Fig yang tumbuh di sekitar candi menghadirkan kesan tua dan mistis pada candi ini. Secara mengejutkan tiba-tiba gadis itu hadir di belakangnya dan memberi petunjuk ke arah pepohonan yang berbunga putih yang dihinggapi banyak kupu-kupu liar berterbangan disana.

Monday, December 18, 2017

Asia Overland, Dibalik Keindahan Sunrise dan Sunset di Angkor Cambodia



Matahari terbit di Angkor Wat, Cambodia


Tuk-tuk melaju membelah jalan yang sepi, kabut tipis masih tampak mengambang di atas permukaan dan dinginnya udara pagi seakan menusuk tulang. Jalanan yang semula sepi kini mulai berubah ramai ketika kami mulai memasuki jalan besar. Berbondong-bondong kendaraan mulai dari bus besar, kendaraan pribadi, tuk-tuk, sepeda motor hingga sepeda kayuh tumpah ruah dalam jalanan di kota kecil ini. Kami dibuat terkejut dengan ramainya orang yang memiliki tujuan yang sama yaitu menikmati matahari terbit dari balik Angkor Wat!.
Setelah melalui perjalanan kurang lebih 6 kilometer dari kota Siem Riep, kami tiba di pintu masuk komplek Angkor Archeological Park. Dihadapan kami terbentang puluhan loket untuk membayar tiket masuk kawasan ini. Beberapa loket sudah dikhususkan sesuai peruntukannya di antaranya untuk pembelian tiket one day pass seharga 37 Dollar, three days pass seharga 62 Dollar dan seven days pass seharga 72 Dollar. Kami bertiga segera mengular dalam barisan untuk membeli tiket tersebut sampai akhirnya giliran kami tiba untuk membayar tiket tersebut.

Asia Overland, Menjelajah Siem Riep, kota terbesar kedua di Kamboja



Suasana kehidupan di kota Siem Riep, Cambodia

 Setelah melalui 7 jam perjalanan darat dengan bus dari kota Phnom Penh menuju Siemriep, kami tiba di terminal bus kota Siem Riep. Sebuah kota sebagai gerbang pintu masuk utama untuk menjelajah kompleks Angkor Archaeological Park, salah satu situs sejarah tertua di dunia yang masuk dalam daftar cagar warisan dunia UNESCO untuk dilestarikan. Dari balik kaca jendela bus terlihat puluhan orang berdesakan di depan pintu bus, menyambut kedatangan penumpang-penumpang yang baru sampai di kota ini.
Dengan gerak cepat mereka berebut untuk memenangkan hati penumpang bus termasuk kami agar mau naik tuk-tuk mereka. Sebagian diantaranya juga menawarkan penginapan dengan harga yang bersaing. Sedikit mundur kebelakang terdapat beberapa orang yang membawa kertas yang bertuliskan nama seseorang yang hendak dijemput. Di kota Siem Riep ini kami menginap di The King Angkor Villa yang merupakan cabang dari penginapan The King Guesthouse yang kami tumpangi selama di kota Phnom Penh. Dengan melakukan pemesanan di Phnom Penh selain mendapatkan harga spesial 15 Dollar bertiga untuk triple room ber-AC, kami juga mendapatkan jemputan gratis ke penginapan.

Asia Overland, Perjalanan dari kota Phnom Penh menuju Siem Riep



Bus umum yang membawa kami ke kota Siem Riep
Alarm di sampingku berbunyi keras memekakkan telinga, membangunkan kami bertiga dari alam mimpi. Rasa letih setelah semalam menjelajah kota Phnom penh dengan berjalan kaki menelurusi tepi sungai Mekong, monument kemerdekaan, pasar tradisional hingga ke beberapa landmark kota Phnom penh membuat tidur kami lebih nyenyak. Setelah mandi dan mengemas tas ransel, kamipun bergegas berangkat ke tempat bus yang akan membawa kami ke kota Siem Riep berada. Karena letaknya tidak jauh dari penginapan, sebenarnya kami bisa berjalan kaki. Namun berhubung kami memesan tiket bus dari resepsionis penginapan, mereka memberikan pelayanan tambahan untuk mengantar kami dengan tuk-tuk ke tempat agen bus berada.
Ketika jadwal keberangkatan hampir tiba, kami dipersilahkan untuk naik ke dalam bus. Tidak ada nomer kursi sehingga kami dapat memilih sesuai keinginan. Setelah mengamankan tempat duduk tidak lama setelah itu bus Sokha Komartep Express berwarna putih oranye bergaris hijau mulai beranjak pelan dari kota Phnom Penh dengan tujuan ke kota Siem Riep. Jalur jalan rayanya didominasi pemandangan lahan persawahan dikedua belah sisinya. Beberapa jalan masih tanah berbatu menghamburkan debu-debu yang tersingkap angin dari laju kendaraan. Untungnya pagi itu cuaca begitu terik, jika saja kondisinya sedang hujan rasanya jalanan menjadi berlumpur dan tentunya waktu perjalanan bisa menjadi lebih lama.

Asia Overland, Menikmati malam di tepi Sungai Mekong, Phnom Penh Cambodia



Suasana malam di kota Phnom Penh, tidak jauh dari pesisir Sungai Mekong

Suara musik bertempo cepat dan energik terdengar keras ketika kami bertiga melangkahkan kaki ke pesisir tepi Sungai Mekong. Walau langit diatas kota Phnom Penh sudah gelap gulita namun kehidupan di tepi sungai Mekong malah baru dimulai. Dari kejauhan banyak penduduk setempat berkumpul di pesisir sungai ini, bebaur dengan para pendatang dan wisatawan yang sedang berada di kota Phnom Penh.
Kami bertiga menghampiri area keramaian untuk bisa berbaur dengan masyarakat setempat yang suka berkumpul di area ini sesuai dengan komunitasnya.  Salah satunya sebuah komunitas modern dance yang mengajak orang-orang untuk ikut berjoget bersama, mengikuti ritme lagu yang sedang diputar. Sesekali tarian tersebut diselingi tarian tradisional bergaya Khmer yang dikombinasikan dengan gerak tari modern. Tidak sedikit wistawan asing dan pendatang yang ikut unjuk kebolehan dan ikut meramaikan suasana malam di pesisir sungai Mekong ini.

Asia Overland, Wat Phnom, Kuil tertinggi di kota Phnom Penh



Anak tangga menuju kuil Phnom di kota Phnom Penh, Kamboja

Jujur setelah selesai mengunjungi Grand Palace kami tidak tahu lagi harus pergi kemana lagi, mengingat kunjungan kami ke Phnom Penh tanpa disertai itinerary yang pasti dan tanpa tahu tempat mana saja yang direkomedasikan untuk dikunjungi di kota ini. Karena perjanjian awal tuk-tuk akan membawa kami hingga petang kamipun nurut mengikuti rekomendasi sopir tuk-tuk, mempercayakan sepenuhnya kepada beliau mau dibawa kemana kami selanjutnya sembari menunggu waktu senja.
Tuk-tuk yang kami tumpangi kembali menelusuri jalan di kota Phnom Penh yang berdebu. Pasir-pasir jalanan beterbangan ketika dihempas laju kendaraan. Pohon-pohon di tepi jalan yang terlihat meranggas karena kabarnya dalam beberapa bulan terakhir hujan tidak turun di kota ini.  Udara terasa panas dan terik membuat sekujur tubuh ini menjadi basah karena keringat.

Asia Overland, Mengagumi kemegahan Royal Palace di kota Phnom Penh

Salah satu sudut kemegahan Royal Palace di Phnom Penh

Hatiku masih terus berdebar-debar dengan hebatnya ketika kembali membayangkan penderitaan pada korban di Killing Fields dan Tuol Sleng S-21 yang disiksa dengan cara yang tidak manusiawi sebelum akhirnya dieksekusi secara perlahan dan mati dengan cara yang mengenaskan. Getaran mesin tuk-tuk yang melaju secara konstan di jalan raya kota Phnom Penh membuat tubuh ini semakin bergetar karena perasaan dan hati yang masih berantakan, bergetar hebat dan merinding ketika merenungkan kedua tempat yang baru saja kami kunjungi itu.
Untuk menghibur hati kami dan mengisi perut yang sudah mulai berontak kami meminta sopir tuk-tuk kami untuk membawa ke kedai makanan halal. Karena kami tidak tahu entah harus kemana akhirnya kamipun menurut saja kemana sopir tuk-tuk ini akan membawa kami. Lalu dibawalah kami di salah satu restoran India yang menjual sajian makanan khas Asia Tengah yang terjamin ke halalannya. Walapun aku dan Yayan tidak terlalu suka masakan India namun tidak ada pilihan lain selain menelan setiap makanan tersebut demi perut yang lapar

Asia Overland, Penjara Rahasia S-21 dan Kuburan Masal di kota Phnom Penh

Salah satu gambar bukti kekejaman rezim Khmer Merah ketika Polpot berkuasa


Tuk-tuk mulai melaju pelan di jalan raya kota Phnom Penh yang didominasi perempatan tanpa rambu-rambu lalu lintas. Setiap kendaraan melaju sesuka hati dengan prinsip siapa yang berani maju terlebih dahulu maka akan mendapatkan jalan, sebagaimana hukum alam yang telah diatur di jalan raya. Sesekali suara klakson terdengar sedikit melengking entah untuk meminta prioritas jalan atau sekedar bertegur sapa. Sampai akhirnya tuk-tuk yang kami kendarai tiba di pemberhentian pertama yaitu Toul Sleng Genocide Museum.
Dilihat dari luar bangunan ini layaknya sebuah areal sekolah. Bangunannya berwarna putih kusam dengan cat yang sudah mulai pudar diterpa cuaca dan waktu. Keberadaan tembok pembatas yang mengelilingi bangunan ini dengan kawat berduri yang sudah berkarat di atasnya menjadi pembeda bangunan ini tidak lagi sebagai sekolah.

Sunday, December 4, 2016

Asia Overland, Dan Perjalananpun Berlanjut di Negeri Cambodia



Seorang Biksu Sedang Berjalan Di Depan Grand Palace, Phnompenh

 “Ketemu lg her,,, hehe...”
“Kalo ada trip ajak2 lg ya...”
Sebuah pesan singkat masuk di kotak pesan jejaring sosial facebook dari temanku Yayan Suryana.  Pesan itu masuk tak lama setelah kami pertama kali bertemu di acara gathering beberapa komunitas backpacker yang diselenggarakan di Gunung Halimun Selabintana yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gede Pangrango di Jawa Barat. Gathering itu digagas teman saya Wahyudi Panggabean yang mendirikan Bali Backpacker dan diikuti oleh komunitas Backpacker Indonesia dan Blackpacker Indonesia (plesetan black-packer karena setiap pulang traveling kulit selalu menjadi hitam keling) serta beberapa orang dari Couchsurfing juga ikut serta.
Yayan adalah seorang karyawan di salah satu perusahaan manufaktur di Indonesia yang memiliki passion mendaki gunung, dari cerita inspiratifnya rasanya sudah hampir semua gunung di Indonesia telah didakinya, yang saya ingat hanya beberapa gunung saja yang belum di daki karena kondisinya medannya yang berat dan berbahaya atau memerlukan biaya yang tidak sedikit seperti pegunungan Cartenz di Jaya Wijaya salah satunya.

Wednesday, May 4, 2016

Pesona Koh Khai Nok, Pulau Kecil Yang Indah di Laut Andaman Thailand


Salah Satu Sudut Yang Cantik di Pulau Khai Nok, Thailand
Baca episode sebelumnya : Hopping Island ke Pulau Phi Phi Thailand Bersama Beyonce. Beberapa waktu berselang setelah makan siang dan waktu bebas untuk menjelajahi pulau Phi Phi perjalanan kami pun dilanjutkan ke sebuah pulau lain di gugusan Pulau Phi Phi yang bernama Pulau Khai Nok. Setelah semua peserta naik, speed boat kembali berderu dan melaju. Dari kejauhan tampak sebuah pulau kecil yang ditanami ratusan payung pantai berwarna-warni lengkap dengan kursi kayu untuk bersantai dan berjemur di atas pasir putih dengan gradasi air laut yang begitu berkilau.
Langit siang hari itu begitu cerah, matahari yang bersinar terang membuat gradasi air laut semakin berkilau. Aku mengedarkan pandanganku untuk menikmati keindahan pulau yang cantik ini dari atas speed boat yang mulai bersandar di bibir pantai di Pulau Khai Nok. Dari atas speed boat aku melompat ke atas pasir, air jernih berbuih tipis yang mulai menyapu kaki menjadi penyambut kedatanganku di pulau ini.

Ready To Explore? Let's go see and travel the world

Please do kindly subscribe to my travel blog, the place where i would share any of my travel enthusiasm there such as travel stories, travel articles and travel photos.